Kamis, 04 Februari 2010

Tips membina bahtera rumah tangga yang SMR (Sakinah, Mawadah dan Rahmah)



Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Sungguh ironi, dalam tahun 2009 kasus perceraian dan perselingkuhan telah melanda di negeri kita Indonesia. Lebih-lebih media masa elektronik dengan gencarnya meng-ekspose kasus perceraian dan perselingkuhan di kalangan selebretis bak tumbuhnya jamur di musim hujan. Tak henti-hentinya mereka mengulang-ulang berita tersebut hingga masyarakat tidak sadar bahwa mereka telah dicekoki racun dan wabah penyakit yang sangat menular dan dapat menghancurkan sendi-sendi bermasyarakat dan bernegara dalam konteks yang lebih luas. Salah satu konsep penyebaran kebathilan adalah “KESALAHAN YANG DIULANG-ULANG HINGGA BERUBAH MENJADI “KEBENARAN” YANG DISEPAKATI”.

Fenomena yang terjadi pada masyarakat sekarang ini disebabkan oleh dua hal, yakni tipisnya iman dan serbuan musuh yang masuk ke dalam benteng-benteng kaum muslimin di setiap bangunan rumah tangga umat Islam. Yakni media elektronik yang notebene isinya pembodohan umat dan pendangkalan akhlaq !

Bayangkan !….Berapa jam kaum muslimin berada di depan layar TV dibandingkan dengan membaca buku dan mendatangi majelis ilmu agama? Sungguh sangat ironis dengan kenyataan yang ada ! Hampir setiap acara TV diisi dominasi tayangan ekploitasi tubuh wanita, gaya hidup konsumerisme, glamour, arogan, sadisme, liberalisme yang menghapus batasan norma dan hukum agama, kebohongan dan kecurangan, penghancuran norma sosial dan hukum agama seperti selingkuh, kedurhakaan anak kepada orang-tua, kedurhakaan istri kepada suami, pengkhianatan suami kepada keluarganya, korupsi dan lain sebagainya. Hampir setiap detik disuguhkan di meja hidangan kaum muslimin tanpa berhenti bagi segala umur, baik orang dewasa maupun anak-anak di bawah umur! Full 24 jam X 365 hari. Sungguh sangat dahsyat dampak dan akibatnya!

Intinya, secara berangsur-angsur masyarakat kita telah meninggalkan ajaran agama Allah dan beralih mengambil jalan dan langkah-langkah syaithon !

Perlu diketahui bahwa keretakan rumah tangga (perceraian) adalah target utama “Grand Planning” iblis dan bala-tentaranya. Karena rumah tangga adalah benteng terakhir kaum muslimin dalam membina calon-calon manusia yang berkualitas dan berakhlaq pada generasi yang akan datang, yang mampu memegang amanah sebagai khalifah di muka bumi. Hal ini disadari oleh iblis dan bala-tentaranya! Sebagaimana khabar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam:

“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya. Yang paling dekat kedudukannya dengan Iblis adalah yang paling besar fitnahnya. Datang kepadanya seorang tentaranya lalu berkata: ‘Aku telah berbuat demikian-demikian.’ Iblis berkata: ‘Engkau belum berbuat sesuatu.’ Dan kemudian salah seorang dari mereka datang lalu berkata: ‘Aku tidak meninggalkan orang tersebut bersama istrinya melainkan aku pecah belah keduanya.’ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: ‘Lalu iblis mendekatkan prajurit itu kepadanya dan berkata: ‘Sebaik-baik pasukan adalah kamu.’ Al-A’masy berkata: ‘Aku kira, (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) berkata: ‘Lalu iblis memeluknya.” (HR. Muslim no. 5302)

Bila iblis telah berhasil menghancurkannya, kemana sang anak mencari kasih sayang?

Hidup akan terkatung-katung. Yang satu ingin mengayominya, yang lain tidak merestuinya. Alangkah malang nasibmu wahai Anak, engkau adalah bagian dari korban Iblis dan bala tentaranya. Kalau demikian keras rencana busuk Iblis terhadap keluarga orang-orang yang beriman, kita semestinya berusaha mencari jalan keluar dari jeratan dan jaring yang dipasang oleh Iblis, yaitu dengan mendalami ilmu agama dan mengamalkannya.

Maka solusi pemecahan masalah yang melanda umat Islam pada saat ini hanya ada satu yakni kembali kepada agama Allah secara konsisten. Sebagaimana hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :

“Apabila kamu (umat Islam) melakukan jual-beli dengan sistem ‘iinah (riba), menjadikan dirimu berada di belakang ekor sapi (yakni dikuasai oleh harta-benda sehingga lupa kepada Allah dan hari akhirat), ridha dengan cocok tanam dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menjadikan kamu dikuasai oleh kehinaan, Allah tidak akan mencabut kehinaan itu dari dirimu hingga kamu rujuk (kembali) kepada dien (agama Islam) kamu.” (HR. Abu Dawud - shahih)

Oleh sebab itu, sebagaimana halnya orang Arab Jahiliyah dahulu tidak menjadi baik keadaannya kecuali setelah datangnya nabi mereka, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dengan membawa wahyu dari Allah, yang telah menyebabkan kehidupan mereka di dunia berbahagia dan selamat dalam kehidupan di akherat. Demikian pula hendaknya asas yang mesti dijadikan pijakan bagi kehidupan Islami yang didambakan oleh setiap insan muslim dimanapun mereka berada, yakni tiada lain hanyalah rujuk (kembali) kepada Al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman salafus-sholih generasi terbaik umat ini.

Usaha penyadaran umat Islam untuk kembali kepada agamanya harus senantiasa digalakkan sebagai perimbangan! Yakni dengan penanaman pendidikan agama di dalam rumah tangga umat Islam sejak usia dini. Pendidikan agama yang meliputi kesadaran akan arti sebuah rumah tangga dalam ikatan pernikahan. Dan tak lupa selalu mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan selalu memanjatkan doa yang telah diajarkan Nabi shallalllahu ‘alaihi wa salam:

“Sesungguhnya hati Bani Adam semuanya di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahman, seperti hati satu orang, Dia palingkan kemana Dia kehendaki.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati-hati kami pada ketaatan kepada-Mu.” (HR. Muslim, no. 2654)

Demikianlah yang dituntunkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Memohon diberi ketetapan hati untuk senantiasa kokoh ada dalam ketaatan pada-Nya. Taat dalam setiap keadaan, termasuk saat menginjak ke pelaminan. Hingga dengan pernikahan tersebut, seseorang bisa menjadikannya sebagai wasilah (perantara) untuk meraup keteguhan iman. Pernikahan tersebut benar-benar menjadi sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena, nikah itu adalah sepenggal bentuk ibadah, yang merupakan bentuk pengamalan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

“Dan aku pun menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 5063 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 1401, penggalan dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu)

Kita ambil teladan dari Ummu Sulaim radhiyallahu 'anha, seorang shahabiyah Nabi yang mulia. Ia menjadikan pernikahannya mampu mengantarkan kebaikan bagi dirinya, suaminya, kehidupan rumah tangganya, dan dakwah secara umum. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bertutur:

“Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim. Yang menjadi mahar bagi pernikahan keduanya adalah Islam. Ummu Sulaim memeluk Islam sebelum Abu Thalhah. Maka, Abu Thalhah pun lantas melamar Ummu Sulaim. Kata Ummu Sulaim, ‘Sungguh aku telah memeluk Islam. Jika engkau hendak menikahiku, engkau harus memeluk Islam terlebih dulu.’ Kemudian Abu Thalhah pun memeluk Islam. Keislamannya itu menjadi mahar (dalam pernikahan) keduanya.” (HR. An-Nasa`i dalam Sunan-nya, no. 3340. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menshahihkan hadits ini)

Dalam riwayat lain dari Tsabit, dari Anas, dia berkata: “Abu Thalhah telah melamar Ummu Sulaim. Maka, Ummu Sulaim berkata, ‘Demi Allah, orang yang sepertimu, wahai Abu Thalhah, tidak layak ditolak. Tetapi engkau lelaki kafir, sedangkan aku seorang muslimah. Tak halal bagiku untuk menikah denganmu. Jika engkau mau memeluk Islam, maka (keislamanmu) itu sebagai maharku. Aku tidak meminta yang selainnya.’ Lantas Abu Thalhah pun memeluk Islam dan itulah yang menjadi maharnya.” Tsabit berkata: “Tidak pernah aku mendengar sama sekali tentang mahar yang lebih mulia dari yang diberikan kepada Ummu Sulaim, yakni Islam.” (Sunan An-Nasa`i, no. hadits 3341 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)

Asy-Syaikh Abu Munir Abdullah bin Muhammad Utsman Adz-Dzammari hafizhahullah (salah seorang ulama terkemuka di Yaman), terkait kisah hadits di atas, memberikan nasihat yang laik dicamkan benar-benar oleh kaum muslimin. Kata beliau hafizhahullah, “Begitulah yang semestinya diucapkan seorang muslimah. Dia tidak tertipu dengan harta kekayaan yang dimiliki pihak lelaki. Padahal, Abu Thalhah tergolong orang Anshar yang kaya harta. (Namun demikian) Ummu Sulaim tidak meminta harta kekayaan yang banyak dari Abu Thalhah. Tidak meminta perhiasan emas, tidak juga yang lainnya. Yang diminta hanyalah dia (Abu Thalhah) memeluk Islam karena Allah Rabbul ‘alamin, sekaligus dijadikan mahar baginya. Abu Thalhah pun memeluk Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikannya seorang laki-laki beriman, shalih dan membantu (perjuangan) agama hingga Allah Subhanahu wa Ta'ala mewafatkannya dalam Islam. Dengan (kecerdasan) akal seorang wanita beriman ini dan dengan keimanannya (Ummu Sulaim), ia menjadi pria tangguh, kokoh, dan berserah diri.” (Ni’matuz Zawaj wa Shalahuz Zaujaini, Abu Munir Abdullah bin Muhammad Utsman Adz-Dzammari, hal. 9)

Perlu diketahui bahwa kebaikan dan kesempurnaan agama pada diri seorang muslim atau muslimah yakni dengan jalan menikah, maka dengan pernikahan tersebut seorang muslim dan muslimah akan mendapatkan banyak kemaslahatan darinya, berupa pemeliharaan terhadap kehormatan, mencegah dari perbuatan zina, memelihara pandangan, melanjutkan generasi, dan berbagai faedah lainnya yang tidak tersamarkan bagi mereka yang telah melakukannya. Dengan pernikahan tersebut seorang muslim dan muslimah mewujudkan sebuah bahtera rumah tangga yang membutuhkan nakhoda yang mengerti tujuan dan arah berlayar, diikuti para awak yang memiliki kesabaran yang tangguh dan teruji, yang siap diatur oleh sang nakhoda. Sebagaimana bahtera yang mengarungi samudra yang luas akan menghadapi arus dan gelombang yang menggunung, begitu pula bahtera berumah tangga. Akan banyak ujian dan cobaan di dalamnya. Banyak kerikil-kerikil tajam dan duri-duri yang menusuk peraduan.

Dahsyatnya ujian tersebut menyebabkan banyak bahtera rumah tangga yang kandas dan tidak bisa berlabuh lagi, bahkan hancur berkeping-keping. Sang istri ditelantarkan dengan tidak dididik, bahkan tidak diberikan nafkah. Sehingga muncul awak-awak bahtera yang tidak taat kepada nakhoda. Awak bahtera rumah tangga yang tidak mengerti tugas dan kewajibannya, berjalan sendiri dan mencari kesenangan masing-masing. Inilah pertanda kecelakaan dan kehancuran. Sang anak dibiarkan seakan-akan tidak memiliki ayah, sebagai seorang pemandu dan pembela yang akan mengarahkan dan melindungi. Seakan-akan tidak memiliki ibu, yang akan memberikan luapan kasih sayang dan perhatian yang dalam. Masing-masing berjalan pada keinginan dan kehendaknya, tidak merasa adanya keterikatan dengan yang lain. Sang nakhoda berjalan di atas dunianya, sang istri dan sang anak di atas dunia yang lain. Saling tuduh dan saling vonis serta saling mencurigai akan terus berkecamuk, berujung dengan perpisahan atau perceraian. Akankah gambaran keluarga tersebut mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan? Bahkan itulah pertanda malapetaka yang besar dan dahsyat.

Oleh karena itu untuk menggapai kehidupan bahtera rumah tangga yang dicita-citakan (sakinah, mawadah dan rahmah) maka diperlukan kesadaran bagi setiap muslim dan muslimah untuk memperbaiki akhlaq dalam kehidupan individu, berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Di sini, ada beberapa akhlak dan adab yang harus ada pada suami-istri, yakni berupa hak di antara keduanya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta'ala:

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (Al-Baqarah: 228)

1. Keduanya memiliki sifat amanah.

Jangan sekali-kali salah satu dari keduanya mengkhianati yang lain, karena mereka berdua tak ubahnya dua orang yang sedang berserikat, sehingga dibutuhkan amanah, menerima nasihat, jujur dan ikhlas di antara keduanya dalam segala kondisi.

2. Memiliki kasih sayang di antara keduanya.

Sang istri menyayangi suami dan begitu juga sebaliknya, sang suami menyayangi istrinya. Ini merupakan perwujudan firman Allah Subhanahu wa ta'ala:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (Ar-Rum: 21)

Diantara hikmah adanya pernikahan antara seorang pria dengan wanita adalah agar dapat mewujudkan perasaan saling mencintai dan saling mengasihi di antara mereka. Hal ini baru dapat terwujud ketika seorang pria menikahi seorang wanita yang pencinta/penyayang terhadap suaminya, serta mewujudkan harapan suaminya dengan mendapatkan karunia dari Allah Subhanahu wa Ta'ala berupa keturunan dari anak-anak yang shalih dan shalihah.

3. Menumbuhkan rasa saling percaya antara kedua belah pihak. Jangan sekali-kali terkotori dengan keraguan terhadap kejujuran, amanah, dan keikhlasannya.

4. Lemah lembut, wajah yang selalu ceria, ucapan yang baik dan penuh penghargaan. Hal ini masuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa ta'ala:

“Bergaullah dengan mereka secara patut.” (An-Nisa`: 19)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Inginkan dan lakukan kebaikan untuk kaum wanita.” (Lihat Minhajul Muslim, 1/102).

5. Bagi seorang suami hendaklah bersikap baik kepada keluarganya, karena hal tersebut sebaik-baik akhlaq yang diperintahkan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam:

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku" [HR. At Tirmidzi no: 3895 dan Ibnu Majah no: 1977 dari sahabat Ibnu ‘Abbas. Dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no: 285].

Hadits di atas, hadits yang sangat mulia. Sebuah hadits yang menunjukkan agar manusia bersikap mulia dan berlaku jujur. Begitu pula bagi seorang suami khususnya, karena ia sebagai pemimpin dan bertanggung jawab kepada keluarga. Maka menjadi keharusan, agar kita mencerna tingkat urgensinya.

6. Hendaklah seorang suami menyenangkan istrinya dengan sesuatu yang bukan merupakan maksiat kepada Allah Subhanahu wa ta'ala.

Sebagaimana riwayat dari Aisyah radhiyallahu 'anha: “Aku melihat Rasulullah menutupi aku dengan selendangnya, dan aku melihat kepada anak-anak Habasyah yang sedang bermain di masjid hingga akulah yang bosan.” (HR. Al-Bukhari)

7. Berbincang-bincang bila memiliki kesempatan.

Sebagaimana dalam riwayat dari sahabat 'Aisyah radhiyallahu 'anha: “Rasulullah shalat dalam keadaan duduk dan membaca dalam keadaan duduk. Dan bila masih tersisa dalam bacaannya sekitar 30 atau 40 ayat, beliau berdiri dan membacanya dalam keadaan berdiri. Kemudian beliau ruku’ dan sujud. Dan beliau lakukan hal itu pada rakaat kedua bila beliau menunaikan shalatnya. Jika aku bangun, beliau berbincang-bincang denganku dan bila aku tidur beliau juga tidur.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

8. Khidmat (pelayanan) seorang suami kepada keluarganya.
Diriwayatkan dari Aswad, dia berkata: Aku bertanya kepada Aisyah radhiyallahu 'anha: “Apa yang diperbuat oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam rumahnya?” Dia berkata: “Beliau selalu membantu keluarganya, dan bila datang panggilan shalat beliau keluar menuju shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 676, 5363 dan Ahmad, 6/49)

9. Hendaklah suami dan istri dapat bersenda gurau dalam batas-batas norma agama agar dapat memecah kebekuan dan kepenatan dalam menghadapi rutinitas dan beban masalah.

10. Berusaha berhias dan berpenampilan baik untuk kemaslahatan keduanya. Bukan untuk orang lain !

11. Saling memberi hadiah dan memuji kebaikan diantara keduanya.

12. Bermusyawarah dalam menghadapi kesulitan dan mengambil keputusan untuk kemaslahatan keluarganya dengan pandangan terbuka dan jujur.

13. Bagi suami hendaklah berlaku adil dalam pemberian nafkah kepada istri dan anak-anaknya dan tidak pelit atau boros.

14. Keduanya hendaklah saling menjaga rahasia dalam kehidupan keluarganya, walaupun kepada orang yang paling dekat sekalipun.

15. Bagi seorang istri hendaklah berusaha selalu untuk menetapi sifat-sifat wanita sholehah.

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam:

“Sebaik-baik wanita ialah wanita yang bila engkau memandang kepadanya, ia akan membuatmu senang, dan bila engkau memerintahnya niscaya ia mentaatimu, dan bila engkau meninggalkannya, ia menjaga kehormatanmu dalam hal yang berkaitan dengan dirinya dan hartamu. Dan kemudian Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam membaca ayat berikut, yang artinya: (Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…) hingga akhir ayat.” (Riwayat Ibnu jarir, Abu Dawud At Thoyalisy dan Al Hakim)

16. Bagi seorang suami hendaklah menjaga dirinya dari akhalq-akhlaq tercela niscaya istri dan anaknya akan menjaga dirinya dan berbaktilah kepada orang tuamu, niscaya anakmu akan berbakti kepadamu. (Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 15/315-323).

17. Bersangka baik dan saling memaafkan diantara keduanya.

Demikianalah beberapa tips dalam membina rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsinya masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridha'an Allah dapat terealisir.

Marilah kita berupaya untuk melaksanakan perkawinan secara Islam dan membina rumah tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan aturan, tata cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (Ali-Imran : 19).

Artinya : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertaqwa". (Al-Furqaan : 74)



Amiin.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Sumber: Nukilan dari beberapa artikel

Tidak ada komentar: